Ditutupnya pintu gerbang, lalu dikuncinya baik-baik. Malam telah
larut, jalanan di depan rumah sudah lengang. Tak ada lagi kendaraan yang
lalu lalang.
Setelah mencium punggung tangan suaminya, ia berlalu menuju ke dapur. Disiapkannya secangkir teh hangat.
"Mau makan, atau mau mandi dulu?" tanyanya sambil membuka tudung saji di meja makan.
"Malam ini aku nggak mandi yaa, malas sekali," sahut Abram, setengah bertanya.
"Terserah lah. Kalau nanti badan terasa lengket, jangan ngedumel," jawab Amel.
Tangannya sibuk menyiapkan baju ganti.
Tak berapa lama, Abram sudah mendengar dengkur halus dari Amel. Rupanya perempuan itu terlalu lelah hingga tertidur saat menunggunya selesai mandi.
Diselimutinya tubuh ringkih itu baik-baik. Setelah mematikan lampu kamar, Abram berlalu ke kamar kerjanya.
~~~^^^^^~~~
Abram menggeliat. Malas sekali rasanya hari ini untuk bangun.
Sambil turun dari tempat tidur, cuping hidungnya kembang kempis membaui aroma lezat dari arah dapur.
"Amel ... Kau masak apa, Yang?" serunya sambil melangkah terseok-seok.
'Nyawanya' belum sepenuhnya 'ngumpul' rupanya.
Tak ada siapapun, di sana. Perabotan bekas memasak sudah kinclong dicuci, kompor sudah bersih dan tudung saji berkepul-kepul.
Rupanya, dari sanalah aroma lezat yang menggoda tadi berasal.
Sambil celingak celinguk, Abram menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.
~~~^^^^^~~~
Selesai mandi, Abram duduk dan menyantap sarapannya dalam diam. Piring, sendok, garpu, segelas air putih, irisan mentimun, krupuk sudah tertata rapi sekembalinya dari kamar mandi.
"Yaaang, aku sarapan dulu yaa," serunya dari meja makan.
Sepi. Tak ada sahutan.
Abram menutup tudung saji, meletakkan piring kotor di tempat cucian lalu meraih tasnya dan menuju pintu depan.
Sambil mengenakan sepatu secara serampangan, ia memanggil Amel sekali lagi.
Tak ada sahutan. Entah, kemana Amel pergi. Tak biasanya ia bertingkah begini.
Selesai menutupkan gerbang, ia segera melesat. Memacu motornya secepat ia bisa. Ada rapat dewan direksi dan ia tak mau terlambat datang ke kantor.
"Selalu begini bila sedang marah, diam tanpa kata," gumamnya sedih.
~~~^^^^^~~~
Rumah sudah sepi saat Abram menutup pintu gerbang dengan hati-hati. Setelah memastikan kunci terpasang sempurna, ia melangkah ke rak di sudut beranda. Meletakkan sepatu dan menukarnya dengan sandal dalam -- istilah yang mereka pakai untuk sandal yang digunakan khusus di dalam rumah, semacam sandal hotel.
Ruang tamu sudah gelap, tivi tak menyala.
"Amel ...," bisiknya.
Disisihkannya helai rambut yang sebagian menutupi wajah perempuan ringkih itu.
Wajahnya polos, beberapa bintik keringat mengembun di dahinya. Rupanya, ia terlupa menyalakan AC.
Setelah mengatur suhu yang diinginkan, Abram menuju ke meja makan. Tetapi, langkah kakinya sedikit tertahan oleh tangan Amel yang terulur. Ponsel di tangannya hampir saja meluncur , jatuh. Sigap, Abram meraihnya.
Sejatinya, mereka berdua pernah punya konsensus saat hendak menikah, dulu. Bahwa dompet, ponsel adalah hak pribadi masing-masing. Tak ada yang boleh membukanya tanpa ijin.
Tapi malam ini?
Abram mengurungkan niatnya ke meja makan. Ia duduk di kursi sebelah Amel dan mulai membuka-buka ponsel istrinya.
Perlahan, Abram mengklik fitur gallery di ponsel itu.
Camera, aman. Hanya ada gambar gambar hasil 'perburuan' istrinya kala berkunjung ke suatu daerah.
Video, aman. Abram memekik pelan saat ia menemukan tingkah kocaknya ketika mengikuti sebuah lomba. Amel merekam adegan itu dengan sangat baik.
Tapi ia segera membekap mulutnya sendiri, saat menyadari Amel tidur di sebelahnya.
Screenshot berisi beberapa resep masakan yang pernah dimintanya.
"Amel ... Amel. Rupanya kau mencontek resep yaa? Pantas ... beberapa kali masakanmu jauh lebih lezat," gumamnya sambil tersenyum.
Abram masih asyik memencet-mencet. Matanya tak lepas sedetik pun dari layar ponsel.
"Tunggu. Ini ... Ini ...," Abram menajamkan pandangannya. Kok seperti pernah melihatnya?
Diperhatikannya lebih seksama. Satu, dua, tiga ... Astaga!
~~~^^^^^~~~
Amel terbangun menjelang Subuh. Ia sedikit heran karena berada di kamar tidurnya sendiri.
'Kapan pindahnya? Perasaan semalam ...,' sambil bergumam ia melangkah ke dapur.
Setelah menjerang air dan menanak nasi, Amel membuka seluruh jendela, menghirup udara pagi yang masih segar.
Sawah di seberang rumah menawarkan keindahan panorama yang melenakan. Amel menikmatinya, sesaat melupakan masalah yang membelitnya beberapa hari terakhir ini.
"Sudah bangun, Yang?" Abram memeluk Amel dari belakang. Ia menghirup harum rambut yang berantakan itu dalam dalam.
Sempat dirasakannya penolakan itu, tapi Abram mengacuhkannya. Ia tetap saja memeluk erat, sesekali menggoyang tubuh itu kekiri dan ke kanan. Pelan ...
~ • ~ • ~
"Itu airnya sudah mendidih," elak Amel.
Ia jadi punya alasan untuk lepas dari pelukan itu.
Tangannya cekatan menuang air panas ke teko, dilanjutkan menyiapkan sarapan.
Meskipun kecewa, Abram membiarkan istrinya berkutat dengan alat-alat dapur.
Selesai Amel memasak dan membersihkan dapur, Abram menggandeng tangan istrinya ke kursi ayunan di sudut halaman.
Perempuan itu menurut saja ketika Abram memeluknya, lalu mengayun kursi itu perlahan.
"Amel ...," bisiknya.
"Maafkan aku yaa".
Tak ada sahutan. Abram meletakkan dagunya di puncak kepala perempuan ringkih itu.
"Yaaang ...."
Masih tetap sama. Tak ada reaksi apapun.
"Kau ... kau menangis?" tanya Abram tiba-tiba. Jemarinya yang menyusuri pipi tirus itu, basah.
"Kenapa?"
Amel makin sesenggukan. Bahunya berguncang-guncang menahan isak.
~~~^^^^^~~~
Bicaralah, Amel. Ada apa? Aku minta maaf kalau ...," Abram mengangkat kedua tangannya.
Putus asa.
Beginilah Amel. Ia memilih diam saat sedang marah. Bukan 'ngamuk-ngamuk', nyerocos ga karuan, marah meledak-ledak atau bahkan membanting segala benda. Bukan.
Makin marah, maka makin diamlah ia.
Satu yang membuatnya merasa masih dihargai, Amel tetap menyiapkan segala keperluannya.
Baju kerja tertata rapi di atas tempat tidur setiap pagi, dengan padu padan yang pas. Sarapan selalu terhidang di meja makan, lengkap dengan segelas teh lemon hangat kesukaannya.
Amel masih menangis, ia berusaha keras menahan isak dengan mengambil nafas sepenuh paru-parunya. Sedikit menolong, setidaknya beban di dada sedikit berkurang.
"Kamas, sudah membongkar hapeku kan?" tanyanya lirih. Sesekali masih terdengar sedunya.
Abram hanya mampu mengangguk. Hatinya patah melihat sorot penuh luka di mata Amel.
"Kenapa, Kamas? Kenapa tega padaku?"
Tangis Amel pun meledak. Ia berlari masuk ke rumah dengan terburu-buru. Sandalnya tertinggal sebelah di semak-semak.
Note: Kamas -- Kangmas, panggilan kepada suami, kakak, pria yang dituakan/dihormati.
Biasa ditemui dalam dialog Kethoprak, di kalangan 'njeron beteng' (lingkungan di dalam beteng -- Yogyakarta/Surakarta) dan sekitarnya
~~~^^^^^~~~
Tuiing ...
'Mas Bram, bisa kita ketemu? Teleponku kok nggak diangkat, message juga ga dibalas? Ini penting!'
Pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya.
Abram mengerenyit.
'Siapa ini? Dari mana dia dapatkan nomorku?' gumam Abram, kesal.
Sejenak perhatiannya teralihkan dari deretan angka, perhitungan rumit dan seabreg pekerjaan yang harus diselesaikan.
Dihelanya nafas panjang, berusaha meredakan resah yang tiba-tiba muncul merambati hati.
'Mas Bram. Kenapa pesanku kau abaikan? Apa perlu aku kirim screenshot chat kita ke nyonya?' gertakan itu muncul lagi di ponselnya.
Rasanya, ingin sekali meninju meja kerja di depannya sekuat ia bisa. Tapi Abram tak melakukannya. Semarah apapun, ia harus bisa mengendalikan diri.
Setelah meneguk habis air putih di gelas minumnya, Abram berlalu menuju kamar mandi. Karena sering lembur, ia menyimpan perlengkapan mandi di laci mejanya.
Berharap, setelah mandi dan mengguyur kepalanya, resah yang sejak tadi mengganggu pikiran bisa sedikit reda.
~~~~~
Amel menengok ponselnya sekali lagi. Tak ada pesan masuk. Balasan yang ditunggunya pun nampaknya nggak bakalan ada.
Selalu begitu. Setiap kali ia bertanya atau mengirim pesan pada Abram, jawabannya baru akan ia terima nanti, atau besok ... atau bahkan tak berbalas.
'Kamas kemana tho? Apa begitu sibuknya hingga membalas pesan pun ia enggan?' batinnya pilu.
Akhirnya, ia pun memesan ojek langganan dan meluncur ke tempat kesukaannya. Perpustakaan Daerah.
~~~^^^^^~~~
Beberapa hari berlalu tanpa 'insiden'. Abram hampir saja melupakan pesan dari nomor tak dikenal itu. Sikap Amel pun jauh lebih 'manis', tak lagi diam seribu bahasa.
Minggu pagi, sehabis Subuh mereka pergi berolah raga. Pengelola supermarket di dekat rumah mengadakan senam massal sekali seminggu, sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Salah satu keunikannya, selain menyediakan teh hangat dan air putih bergalon galon, pihak penyelenggara memberikan kupon dorprize.
Beberapa peralatan dapur, sembako, handuk mandi, wadah minum menjadi hadiah hiburan sekaligus penarik minat peserta untuk datang dan datang lagi setiap minggu.
Selesai senam pagi, Abram menggandeng lengan Amel menyusuri jalan yang masih sepi. Kali ini, mereka langsung menuju ke pasar.
Persediaan bahan makanan di kulkas sudah mulai habis, juga bumbu dapur telah menipis.
~•~•~•~
Obrolan ringan 'ngalor ngidul' itu tiba-tiba berganti topik.
"Kamas, siapa dia?" tanya Amel. Wajahnya berubah penuh mendung.
Abram menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia mencari-cari kata yang tepat untuk menjawab.
"Kenapa tidak dijawab? Siapa dia?" cecar Amel.
"Kenal dimana, sudah berapa lama? Apa ia tidak tahu kalau Kamas tidak sendiri lagi?"
Kali ini suaranya bercampur isak.
Abram makin 'mati kutu'. Bagaimana ini?
~~~^^^^^~~~
Sepagian ini, Abram mondar mandir di beranda. Sesekali, ia menggaruk kepalanya meskipun rambut tidak gatal.
Sudah dua hari Amel ambruk. Ia terbaring lemah di tempat tidur. Mukanya pucat pasi, sorot matanya sayu kehilangan cahaya. Sejak semalam ia muntah-muntah. Segala apa yang dimakannya, akan dibuang lagi beberapa saat kemudian.
Abram tahu, lambung Amel bermasalah lagi. Pesan dokter bulan lalu kembali terngiang di telinganya.
'Pak Bram, jaga perasaan Ibu yaa. Jangan sampai beliau memikirkan hal yang berat berat, stress atau terlalu capai. Asam lambungnya akan naik dan kondisi seperti ini akan berulang. Terus. Selama Bapak tak menjaga kondisi Ibu.'
"Saya mengerti, dok. Saya akan menjaganya," jawab Abram gragapan. Ia sedang memikirkan hal lain rupanya.
~•~•~•~•~
"Kamas! Dimana?"
Abram menghambur ke dalam kamar. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran luar biasa.
"Iya, Amel. Aku di sini."
Tangannya sibuk mengelap peluh yang bercucuran di kening istrinya.
"Masih mual? Buburnya dihabiskan yaa, mau disuapi?"
Amel menggeleng, lemah. Wajahnya basah oleh keringat, juga air mata.
"Ssshh, sudah. Jangan menangis. Tenangkan pikirmu," dielusnya pipi tirus itu penuh kasih.
"Kamas belum jawab pertanyaanku."
"Amel. Masih pentingkah jawaban itu untukmu, sekarang?" Abram hampir saja meradang.
Nadanya meninggi, tapi ia segera memeluk tubuh ringkih itu sepenuh hati.
'Maafkan aku, Sayangku. Karena keteledoranku, engkau harus menderita seperti ini,' gumamnya. Pilu.
~~~bersambung~~~
Setelah mencium punggung tangan suaminya, ia berlalu menuju ke dapur. Disiapkannya secangkir teh hangat.
"Mau makan, atau mau mandi dulu?" tanyanya sambil membuka tudung saji di meja makan.
"Malam ini aku nggak mandi yaa, malas sekali," sahut Abram, setengah bertanya.
"Terserah lah. Kalau nanti badan terasa lengket, jangan ngedumel," jawab Amel.
Tangannya sibuk menyiapkan baju ganti.
Tak berapa lama, Abram sudah mendengar dengkur halus dari Amel. Rupanya perempuan itu terlalu lelah hingga tertidur saat menunggunya selesai mandi.
Diselimutinya tubuh ringkih itu baik-baik. Setelah mematikan lampu kamar, Abram berlalu ke kamar kerjanya.
~~~^^^^^~~~
Abram menggeliat. Malas sekali rasanya hari ini untuk bangun.
Sambil turun dari tempat tidur, cuping hidungnya kembang kempis membaui aroma lezat dari arah dapur.
"Amel ... Kau masak apa, Yang?" serunya sambil melangkah terseok-seok.
'Nyawanya' belum sepenuhnya 'ngumpul' rupanya.
Tak ada siapapun, di sana. Perabotan bekas memasak sudah kinclong dicuci, kompor sudah bersih dan tudung saji berkepul-kepul.
Rupanya, dari sanalah aroma lezat yang menggoda tadi berasal.
Sambil celingak celinguk, Abram menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.
~~~^^^^^~~~
Selesai mandi, Abram duduk dan menyantap sarapannya dalam diam. Piring, sendok, garpu, segelas air putih, irisan mentimun, krupuk sudah tertata rapi sekembalinya dari kamar mandi.
"Yaaang, aku sarapan dulu yaa," serunya dari meja makan.
Sepi. Tak ada sahutan.
Abram menutup tudung saji, meletakkan piring kotor di tempat cucian lalu meraih tasnya dan menuju pintu depan.
Sambil mengenakan sepatu secara serampangan, ia memanggil Amel sekali lagi.
Tak ada sahutan. Entah, kemana Amel pergi. Tak biasanya ia bertingkah begini.
Selesai menutupkan gerbang, ia segera melesat. Memacu motornya secepat ia bisa. Ada rapat dewan direksi dan ia tak mau terlambat datang ke kantor.
"Selalu begini bila sedang marah, diam tanpa kata," gumamnya sedih.
~~~^^^^^~~~
Rumah sudah sepi saat Abram menutup pintu gerbang dengan hati-hati. Setelah memastikan kunci terpasang sempurna, ia melangkah ke rak di sudut beranda. Meletakkan sepatu dan menukarnya dengan sandal dalam -- istilah yang mereka pakai untuk sandal yang digunakan khusus di dalam rumah, semacam sandal hotel.
Ruang tamu sudah gelap, tivi tak menyala.
"Amel ...," bisiknya.
Disisihkannya helai rambut yang sebagian menutupi wajah perempuan ringkih itu.
Wajahnya polos, beberapa bintik keringat mengembun di dahinya. Rupanya, ia terlupa menyalakan AC.
Setelah mengatur suhu yang diinginkan, Abram menuju ke meja makan. Tetapi, langkah kakinya sedikit tertahan oleh tangan Amel yang terulur. Ponsel di tangannya hampir saja meluncur , jatuh. Sigap, Abram meraihnya.
Sejatinya, mereka berdua pernah punya konsensus saat hendak menikah, dulu. Bahwa dompet, ponsel adalah hak pribadi masing-masing. Tak ada yang boleh membukanya tanpa ijin.
Tapi malam ini?
Abram mengurungkan niatnya ke meja makan. Ia duduk di kursi sebelah Amel dan mulai membuka-buka ponsel istrinya.
Perlahan, Abram mengklik fitur gallery di ponsel itu.
Camera, aman. Hanya ada gambar gambar hasil 'perburuan' istrinya kala berkunjung ke suatu daerah.
Video, aman. Abram memekik pelan saat ia menemukan tingkah kocaknya ketika mengikuti sebuah lomba. Amel merekam adegan itu dengan sangat baik.
Tapi ia segera membekap mulutnya sendiri, saat menyadari Amel tidur di sebelahnya.
Screenshot berisi beberapa resep masakan yang pernah dimintanya.
"Amel ... Amel. Rupanya kau mencontek resep yaa? Pantas ... beberapa kali masakanmu jauh lebih lezat," gumamnya sambil tersenyum.
Abram masih asyik memencet-mencet. Matanya tak lepas sedetik pun dari layar ponsel.
"Tunggu. Ini ... Ini ...," Abram menajamkan pandangannya. Kok seperti pernah melihatnya?
Diperhatikannya lebih seksama. Satu, dua, tiga ... Astaga!
~~~^^^^^~~~
Amel terbangun menjelang Subuh. Ia sedikit heran karena berada di kamar tidurnya sendiri.
'Kapan pindahnya? Perasaan semalam ...,' sambil bergumam ia melangkah ke dapur.
Setelah menjerang air dan menanak nasi, Amel membuka seluruh jendela, menghirup udara pagi yang masih segar.
Sawah di seberang rumah menawarkan keindahan panorama yang melenakan. Amel menikmatinya, sesaat melupakan masalah yang membelitnya beberapa hari terakhir ini.
"Sudah bangun, Yang?" Abram memeluk Amel dari belakang. Ia menghirup harum rambut yang berantakan itu dalam dalam.
Sempat dirasakannya penolakan itu, tapi Abram mengacuhkannya. Ia tetap saja memeluk erat, sesekali menggoyang tubuh itu kekiri dan ke kanan. Pelan ...
~ • ~ • ~
"Itu airnya sudah mendidih," elak Amel.
Ia jadi punya alasan untuk lepas dari pelukan itu.
Tangannya cekatan menuang air panas ke teko, dilanjutkan menyiapkan sarapan.
Meskipun kecewa, Abram membiarkan istrinya berkutat dengan alat-alat dapur.
Selesai Amel memasak dan membersihkan dapur, Abram menggandeng tangan istrinya ke kursi ayunan di sudut halaman.
Perempuan itu menurut saja ketika Abram memeluknya, lalu mengayun kursi itu perlahan.
"Amel ...," bisiknya.
"Maafkan aku yaa".
Tak ada sahutan. Abram meletakkan dagunya di puncak kepala perempuan ringkih itu.
"Yaaang ...."
Masih tetap sama. Tak ada reaksi apapun.
"Kau ... kau menangis?" tanya Abram tiba-tiba. Jemarinya yang menyusuri pipi tirus itu, basah.
"Kenapa?"
Amel makin sesenggukan. Bahunya berguncang-guncang menahan isak.
~~~^^^^^~~~
Bicaralah, Amel. Ada apa? Aku minta maaf kalau ...," Abram mengangkat kedua tangannya.
Putus asa.
Beginilah Amel. Ia memilih diam saat sedang marah. Bukan 'ngamuk-ngamuk', nyerocos ga karuan, marah meledak-ledak atau bahkan membanting segala benda. Bukan.
Makin marah, maka makin diamlah ia.
Satu yang membuatnya merasa masih dihargai, Amel tetap menyiapkan segala keperluannya.
Baju kerja tertata rapi di atas tempat tidur setiap pagi, dengan padu padan yang pas. Sarapan selalu terhidang di meja makan, lengkap dengan segelas teh lemon hangat kesukaannya.
Amel masih menangis, ia berusaha keras menahan isak dengan mengambil nafas sepenuh paru-parunya. Sedikit menolong, setidaknya beban di dada sedikit berkurang.
"Kamas, sudah membongkar hapeku kan?" tanyanya lirih. Sesekali masih terdengar sedunya.
Abram hanya mampu mengangguk. Hatinya patah melihat sorot penuh luka di mata Amel.
"Kenapa, Kamas? Kenapa tega padaku?"
Tangis Amel pun meledak. Ia berlari masuk ke rumah dengan terburu-buru. Sandalnya tertinggal sebelah di semak-semak.
Note: Kamas -- Kangmas, panggilan kepada suami, kakak, pria yang dituakan/dihormati.
Biasa ditemui dalam dialog Kethoprak, di kalangan 'njeron beteng' (lingkungan di dalam beteng -- Yogyakarta/Surakarta) dan sekitarnya
~~~^^^^^~~~
Tuiing ...
'Mas Bram, bisa kita ketemu? Teleponku kok nggak diangkat, message juga ga dibalas? Ini penting!'
Pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya.
Abram mengerenyit.
'Siapa ini? Dari mana dia dapatkan nomorku?' gumam Abram, kesal.
Sejenak perhatiannya teralihkan dari deretan angka, perhitungan rumit dan seabreg pekerjaan yang harus diselesaikan.
Dihelanya nafas panjang, berusaha meredakan resah yang tiba-tiba muncul merambati hati.
'Mas Bram. Kenapa pesanku kau abaikan? Apa perlu aku kirim screenshot chat kita ke nyonya?' gertakan itu muncul lagi di ponselnya.
Rasanya, ingin sekali meninju meja kerja di depannya sekuat ia bisa. Tapi Abram tak melakukannya. Semarah apapun, ia harus bisa mengendalikan diri.
Setelah meneguk habis air putih di gelas minumnya, Abram berlalu menuju kamar mandi. Karena sering lembur, ia menyimpan perlengkapan mandi di laci mejanya.
Berharap, setelah mandi dan mengguyur kepalanya, resah yang sejak tadi mengganggu pikiran bisa sedikit reda.
~~~~~
Amel menengok ponselnya sekali lagi. Tak ada pesan masuk. Balasan yang ditunggunya pun nampaknya nggak bakalan ada.
Selalu begitu. Setiap kali ia bertanya atau mengirim pesan pada Abram, jawabannya baru akan ia terima nanti, atau besok ... atau bahkan tak berbalas.
'Kamas kemana tho? Apa begitu sibuknya hingga membalas pesan pun ia enggan?' batinnya pilu.
Akhirnya, ia pun memesan ojek langganan dan meluncur ke tempat kesukaannya. Perpustakaan Daerah.
~~~^^^^^~~~
Beberapa hari berlalu tanpa 'insiden'. Abram hampir saja melupakan pesan dari nomor tak dikenal itu. Sikap Amel pun jauh lebih 'manis', tak lagi diam seribu bahasa.
Minggu pagi, sehabis Subuh mereka pergi berolah raga. Pengelola supermarket di dekat rumah mengadakan senam massal sekali seminggu, sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Salah satu keunikannya, selain menyediakan teh hangat dan air putih bergalon galon, pihak penyelenggara memberikan kupon dorprize.
Beberapa peralatan dapur, sembako, handuk mandi, wadah minum menjadi hadiah hiburan sekaligus penarik minat peserta untuk datang dan datang lagi setiap minggu.
Selesai senam pagi, Abram menggandeng lengan Amel menyusuri jalan yang masih sepi. Kali ini, mereka langsung menuju ke pasar.
Persediaan bahan makanan di kulkas sudah mulai habis, juga bumbu dapur telah menipis.
~•~•~•~
Obrolan ringan 'ngalor ngidul' itu tiba-tiba berganti topik.
"Kamas, siapa dia?" tanya Amel. Wajahnya berubah penuh mendung.
Abram menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia mencari-cari kata yang tepat untuk menjawab.
"Kenapa tidak dijawab? Siapa dia?" cecar Amel.
"Kenal dimana, sudah berapa lama? Apa ia tidak tahu kalau Kamas tidak sendiri lagi?"
Kali ini suaranya bercampur isak.
Abram makin 'mati kutu'. Bagaimana ini?
~~~^^^^^~~~
Sepagian ini, Abram mondar mandir di beranda. Sesekali, ia menggaruk kepalanya meskipun rambut tidak gatal.
Sudah dua hari Amel ambruk. Ia terbaring lemah di tempat tidur. Mukanya pucat pasi, sorot matanya sayu kehilangan cahaya. Sejak semalam ia muntah-muntah. Segala apa yang dimakannya, akan dibuang lagi beberapa saat kemudian.
Abram tahu, lambung Amel bermasalah lagi. Pesan dokter bulan lalu kembali terngiang di telinganya.
'Pak Bram, jaga perasaan Ibu yaa. Jangan sampai beliau memikirkan hal yang berat berat, stress atau terlalu capai. Asam lambungnya akan naik dan kondisi seperti ini akan berulang. Terus. Selama Bapak tak menjaga kondisi Ibu.'
"Saya mengerti, dok. Saya akan menjaganya," jawab Abram gragapan. Ia sedang memikirkan hal lain rupanya.
~•~•~•~•~
"Kamas! Dimana?"
Abram menghambur ke dalam kamar. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran luar biasa.
"Iya, Amel. Aku di sini."
Tangannya sibuk mengelap peluh yang bercucuran di kening istrinya.
"Masih mual? Buburnya dihabiskan yaa, mau disuapi?"
Amel menggeleng, lemah. Wajahnya basah oleh keringat, juga air mata.
"Ssshh, sudah. Jangan menangis. Tenangkan pikirmu," dielusnya pipi tirus itu penuh kasih.
"Kamas belum jawab pertanyaanku."
"Amel. Masih pentingkah jawaban itu untukmu, sekarang?" Abram hampir saja meradang.
Nadanya meninggi, tapi ia segera memeluk tubuh ringkih itu sepenuh hati.
'Maafkan aku, Sayangku. Karena keteledoranku, engkau harus menderita seperti ini,' gumamnya. Pilu.
~~~bersambung~~~